Sebuah pengalaman yang membuat jantung saya selalu dag dig dug dengan kencang (sabtu 8 November 2008). Bagaimana tidak, belum pernah saya melihat Makkah, Ka'bah apalagi Hajar aswad namun diminta bicara tentang haji. Tetapi untungnya ada IT yang banyak membantu saya menemukan data-data tentang seputar haji..
Menurut saya ibadah haji mempunyai makna yang sangat luar biasa. Hanya saja makna yang terkandung dalam ibadah haji masih kurang bisa dicerna dengan baik oleh sebagian jama'ah haji, sehingga terkadang semangat haji tidak dimiliki pasca pulang ke kampung halaman. Lihat saja fenomena gelar "H" pada jama'ah haji yang membuat derajat mereka terangkat satu tingkat lebih tinggi dibanding yang belum haji. Padahal tidak ada dalam sejarah H Muhammad, H Abu Bakar, H Umar bin Khattab, H Ali bin Abi Thalib, H Usman bin Affan dll. Jika tidak hati-hati gelar H ini justru akan menimbulkan kesombongan. Karena semangat haji sebenarnya justru menganggap semua orang adalah sama. Pakaian putih "ihram" yang dipakai oleh semua jama'ah lintas negara, lintas warna kulit, lintas bahasa dll, telah jelas menggambarkan semangat semua manusia sama dihadapan Allah.
Bagaimana tentang haji mabrur??? Ketika Abu Bakar ditanya tentang itu, beliau menjawab: lihat saja setelah mereka pulang ke Madinah. Artinya ciri haji mabrur bisa dilihat dari keshalehan jama'ah pasca pulang kampung, baik sholeh individual maupun sholeh sosial. Hal yang banyak terlupakan adalah shaleh sosial, sepulang haji ia tidak hanya tambah rajin ibadahnya tetapi rajin pula membantu orang-orang yang membutuhkan di sekelilingnya.
Terdapat kisah sufi yang mengharukan yang mencerminkan pribadi shaleh secara sosial. Suatu ketika ada seseorang yang menunaikan ibadah haji tertidur lelap ketika wukuf di tengah teriknya matahari di padang Arafah. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW. Perasaan berjumpa dengan Rasulullah ini memberikan harapan dalam dirinya bahwa hajinya telah menjadi haji mabrur. Namun untuk kepastian, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah di antara mereka yang diterima hajinya sebagai haji mabrur wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW seraya menarik napas dalam-dalam, menjawab: “Tak seorangpun dari mereka yang diterima hajinya, kecuali seorang tukang cukur tetanggamu”. Serta merta sang haji tersebut kagum dan terkejut. Betapa tidak, ia tahu persis bahwa tetangganya itu adalah orang miskin, dan terlebih lagi bahwa tahun ini ia tidak menunaikan ibadah haji. Dengan digeluti perasaan sedih, dadanya serasa sesak, ia terbangun dari tidurnya. Sepanjang melakukan wukuf sang haji tersebut mengintrospeksi diri, memikirkan dalam-dalam apa arti di balik mimpi tersebut. Sekembali dari Mekah, ia segera menemui tetangganya si tukang cukur. Ia menceritakan segala pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Tapi cerita yang paling ingin disampaikan adalah perihal diri si tukang cukur itu sendiri Dengan sikap keheranan, ia pun bertanya: “amalan apakah yang anda telah lakukan sehingga anda dianggap telah melakukan haji mabrur?” Tetangganya pun dengan tenang bercampur haru bercerita: “bahwa sebenarnya, ia telah lama bercita-cita untuk dapat menunaikan ibadah haji. Dan telah bertahun-tahun pula ia mengumpulkan biaya. Namun ketika biaya telah cukup, dan tibalah pula masa untuk berhaji, tiba-tiba seorang anak yatim tetangganya ditimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya. Maka si tukang cukur termaksud menyumbangkan hampir keseluruhan biaya yang telah bertahun-tahun dikumpulkan itu untuk membiayai anak yatim tersebut, sehingga ia gagal menunaikan ibadah haji”. Sejak itu, pak haji baru sadar, bahwa ternyata kita sering salah langkah dalam upaya mencari ridha Allah. RidhaNya terkadang diburu dengan semangat egoisme yang berlebihan dan tanpa disadari justeru bertolak belakang dengan keridhaanNya. Dengan kata lain, betapa ibadah-ibadah kita sering ternoda oleh lumpur kepicikan egoisme pelakunya, jauh dari nilai-nilai “kasih sayang”. Allahu a'lam
Menurut saya ibadah haji mempunyai makna yang sangat luar biasa. Hanya saja makna yang terkandung dalam ibadah haji masih kurang bisa dicerna dengan baik oleh sebagian jama'ah haji, sehingga terkadang semangat haji tidak dimiliki pasca pulang ke kampung halaman. Lihat saja fenomena gelar "H" pada jama'ah haji yang membuat derajat mereka terangkat satu tingkat lebih tinggi dibanding yang belum haji. Padahal tidak ada dalam sejarah H Muhammad, H Abu Bakar, H Umar bin Khattab, H Ali bin Abi Thalib, H Usman bin Affan dll. Jika tidak hati-hati gelar H ini justru akan menimbulkan kesombongan. Karena semangat haji sebenarnya justru menganggap semua orang adalah sama. Pakaian putih "ihram" yang dipakai oleh semua jama'ah lintas negara, lintas warna kulit, lintas bahasa dll, telah jelas menggambarkan semangat semua manusia sama dihadapan Allah.
Bagaimana tentang haji mabrur??? Ketika Abu Bakar ditanya tentang itu, beliau menjawab: lihat saja setelah mereka pulang ke Madinah. Artinya ciri haji mabrur bisa dilihat dari keshalehan jama'ah pasca pulang kampung, baik sholeh individual maupun sholeh sosial. Hal yang banyak terlupakan adalah shaleh sosial, sepulang haji ia tidak hanya tambah rajin ibadahnya tetapi rajin pula membantu orang-orang yang membutuhkan di sekelilingnya.
Terdapat kisah sufi yang mengharukan yang mencerminkan pribadi shaleh secara sosial. Suatu ketika ada seseorang yang menunaikan ibadah haji tertidur lelap ketika wukuf di tengah teriknya matahari di padang Arafah. Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW. Perasaan berjumpa dengan Rasulullah ini memberikan harapan dalam dirinya bahwa hajinya telah menjadi haji mabrur. Namun untuk kepastian, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW: “Siapakah di antara mereka yang diterima hajinya sebagai haji mabrur wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW seraya menarik napas dalam-dalam, menjawab: “Tak seorangpun dari mereka yang diterima hajinya, kecuali seorang tukang cukur tetanggamu”. Serta merta sang haji tersebut kagum dan terkejut. Betapa tidak, ia tahu persis bahwa tetangganya itu adalah orang miskin, dan terlebih lagi bahwa tahun ini ia tidak menunaikan ibadah haji. Dengan digeluti perasaan sedih, dadanya serasa sesak, ia terbangun dari tidurnya. Sepanjang melakukan wukuf sang haji tersebut mengintrospeksi diri, memikirkan dalam-dalam apa arti di balik mimpi tersebut. Sekembali dari Mekah, ia segera menemui tetangganya si tukang cukur. Ia menceritakan segala pengalamannya selama menunaikan ibadah haji. Tapi cerita yang paling ingin disampaikan adalah perihal diri si tukang cukur itu sendiri Dengan sikap keheranan, ia pun bertanya: “amalan apakah yang anda telah lakukan sehingga anda dianggap telah melakukan haji mabrur?” Tetangganya pun dengan tenang bercampur haru bercerita: “bahwa sebenarnya, ia telah lama bercita-cita untuk dapat menunaikan ibadah haji. Dan telah bertahun-tahun pula ia mengumpulkan biaya. Namun ketika biaya telah cukup, dan tibalah pula masa untuk berhaji, tiba-tiba seorang anak yatim tetangganya ditimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya. Maka si tukang cukur termaksud menyumbangkan hampir keseluruhan biaya yang telah bertahun-tahun dikumpulkan itu untuk membiayai anak yatim tersebut, sehingga ia gagal menunaikan ibadah haji”. Sejak itu, pak haji baru sadar, bahwa ternyata kita sering salah langkah dalam upaya mencari ridha Allah. RidhaNya terkadang diburu dengan semangat egoisme yang berlebihan dan tanpa disadari justeru bertolak belakang dengan keridhaanNya. Dengan kata lain, betapa ibadah-ibadah kita sering ternoda oleh lumpur kepicikan egoisme pelakunya, jauh dari nilai-nilai “kasih sayang”. Allahu a'lam
0 komentar:
Posting Komentar